Senin, 08 Agustus 2011

Cerpenku Tahun 2000

PETOJO

Oleh MOCH DANIEL BANGU


Entah roh geblek mana yang menyelubungi sebagian penghuni Petojo, Jakarta Pusat. Gerak gerikku sering diperhatikan. Dari pakaianku, tatapanku bahkan kalau aku lari pagi, kurasakan aku sering dicurigai.
Padahal senyumku sering kubiaskan. Mengharapkan suasana yang harmoni. Namun, hawa itu masih tetap kurasakan. Mungkin karena aku belum mendapatkan pekerjaan lagi, setelah keluar dari perusahaan furniture di Bekasi.

Sungguh tak menyenangkan menjadi pengangguran di kampung orang. Aku memang menyukai tempat kosku ini. Karena tak ada kumpul kebo, atau memang aku belum tahu. Ibu Ical yang asli orang Ambon sangat baik kepadaku. Dia sering mengikhlaskan koran atau pun majalah yang telah dibacanya. Untuk kuambil dan kubaca, mumpung gratis. Dan beberapa penghuni kos yang tak kalah baiknya kepadaku.

Aku kadang mengirimkan cerpen karyaku ke beberapa majalah dan tabloid untuk mengisi waktuku yang kosong. Tapi kebanyakan ditolak. Memang kuakui cara penulisanku yang masih agak kacau, belum lagi aku tak pandai mengetik. Namun aku terus berusaha untuk memperbaikinya. Teman sekamarku yang bekas Anak Buah Kapal selalu memberiku support.
"Bagaimana Nel. Jadi tidak pacarannya sama cewek lokal."
"Cewek lokal? Apa maksudmu, Wan," balasku memutar pertanyaan Iwan yang tak kumengerti.

"Ah kami seperti tak mengerti retorika kita sehari-hari," Iwan dengan gaya kapten kapal menunjuk arah kanan dinding kamar. Kini aku mengerti. Gadis SMU itu memang sering mengisi lamunanku. Apalagi rumahnya di belakang kamarku, hanya beberapa meter dari rumah-rumah mungil di belakangnya. Senyumnya mengingatkanku kepada anak seorang pembeli kursi sofa di daerah bagian Bekasi. Waktu itu ia memmbawakanku sebotol air es, disaat aku sedang memperlihatkan brosur furniture kepada ibunya. Kutaksir umurnya sekitar enam belas tahun, karena wajahnya masih ayu tanpa polesau pabrik. Tingkahnya ngelangutkan jiwa. Dan sungguh kasihan nasibku. Waktu kutelepon ingin bicara dengannya, ibunya melabrakku dengan kata-kata....
"Hei jadi tidak!" Iwan membuyarkan lamunanku.

"Payah, Wan. Mungkin nanti kalau kita sudah jadi orang kaya."
"Ha ha ha, dan tak ada lagi yang curiga. Ha ha ha." Aku dan Iwan kembali hanyut dalam tawa

*****

Sudah beberapa hari ini aku hanya mengurung diri dalam kamar. Aku merasakan orang-orang menyangkaku lagi fly. Karena Iwan kerja di night club sebagai waiter dan mereka mengira kita pengedar narkoba. Aku sering tertawa sendiri membayangkan piciknya otak-otak di kompleks ini. Prangko Malcolm X yang tertempel di pintu kamarku mungkin disangka bandar sindikat. Celana loreng pemberian temanku yang lulus kepolisian Brimob, bisa jadi dikira pemberian beking.

Inilah Jakarta dalam segenap kecurigaan. Aku memahami semua itu dan tetap bertahan. Pasti Allah Sang Pencipta akan memberikan kemudahan bagiku. Sesuai prinsip hidup di balik kesusahan ada kemudahan. Selagi kita mau berusaha dan berdoa.
Malam itu, sepertinya Iwan sudah pulang. Kudengar bunyi sepatu di luar kamar. Dan benar, ia masuk dan membawa bau kaki.

"Cuci dulu kakimu," pintaku dengan tangan menutup hidung. Iwan hanya diam dan langsung keluar dari dalam kamar. Semenit kemudian ia masuk lagi.
"Kasihan Nel." Iwan menghempaskan pantatnya di lantai. Ia mengambil sebuah majah Donal Bebek. Terlihat guratan di wajahnya menggambarkan berita kesedihan yang dibawanya.

"Kasihan kenap,a Wan?" Aku berdiri dan segera menyetel lagu daerah asalku dan Iwan untuk menenangkan suasana hatinya.
"Pasi-pasire..odoi ngokoware tatilio tembe...," sayup-sayup terdengar lagu ceria. Wajah Iwan sedikit berubah dari yang sebelumnya.
Aku dan Iwan memang sudah seperti saudara. Selalu berbagi dalam suka dan duka. Walaupun tak ada pertalian darah di antara kita.

"Si Topik, Nel," ucap Iwan.
"Si Topik. Oo Si Topik tukang sate," tanyaku menyambung ucapannya.
"Kenapa Wan," aku mengambil sebatang rokok dan kemudian membakar ujungnya.
"Tadi setelah selesai makan satenya." Iwan menutup majalah Donal Bebek dam berganti memegang kepalanya.
"Ia berbisik kepadaku, katanya adiknya sakit dan dia butuh uang."
"Berapa?" Aku mengambil dompetku dan tendangan kaki Iwan yang kudapatkan. Sesaat kita hanyut dalam tawa.

"Cak Topik penjual sate terbaik yang kami kenal. Ia sering mengutangkan satenya, kalau lagi bokek. Dan dia pernah mengatakan, aku dan Iwan adalah pengutang tercepat dalam soal pelunasan.
"Bagaimana Nel?" Iwan bertanya lagi dengan sisa tawa.
"Yang pasti, walau agak berat, aku katakan tidak ada. Ia pun memakluminya. Sambung Iwan menjelaskan.
"Hutang satemu sudah berapa Wan?"
"Ah belum dua puluh ribu," jawab Iwan dan mengambil sebatang rokok.
"Eh Wan ada sayembara," ujarku mulai memancing lagi
"Dengan total hadiah 1000 triliun," sambung Iwan lebih lihai. Dan dinding kami terdengar ditonjok-tonjok orang dari luar, malam itu. Karena agak terganggu dengan suara tawa kami.

****

Pagi yang indah batinku memuji dalam hati. Kupandang dan kuhirup udara segar di depan kamarku yang terletak di bagian luar rumah kos-kosan. Setelah berlari-lari di tempat dan menggerakkan otot-otot tubuhku.
Sudah beberapa hari ini aku selalu mengurungkan niatku untuk lari subuh. Karena kakiku yang telanjang sering dilihat. Jangan-jangan pulangnya bawa sepatu atau sandal. Mungkin begitulah isi pikiran orang yang melihat kakiku yang selalu telanjang kalau lari subuh. Dasar orang kompleks yang picik, gerutuku memaki dalam hati.

Aku duduk di kursi rotan dan membaca surat kabar yang ada di sebelah kursi rotan yang satunya lagi. Mataku tertuju pada sebuah kolom nostalgia yang menceritakan sejarah kampung-kampung di Jakarta. Aku ingin mengirin surat ke redaktur koran ini. Agar dimuatkan sejarah tentang Petojo.

"Nel ada lowongan," setengah berteriak suara Iwan dari dalam kamar. Aku tak mempedulikan. Aku sudah bosan. Lowongan penipu.
Tapi Iwan keluar dari kamar dan memperlihatkan sebuah lowongan tentang dicarinya orang yang kerja di salon kecantikan.
"Ha ha ha," aku dan Iwan kembali tenggelam dalam tawa, mengingat kita pernah dikira homo seks.

http://default.tabloidnova.com/microsite/cerpen/index.php/kumpulan-cerpen-lengkap/19-petojo

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Betapa indahnya Alam dan segala isinya yang penuh daya guna... foto adalah perwakilan dari sejarah, dari masa ke masa...

Followers