Rabu, 23 Februari 2011

Cerpen

TERBANG



Ketika siang masih menyemburkan hawa panasnya dan jutaan knalpot penghuni setia jalan raya berseliweran dalam kemacetan yang akut, masih saja bocah-bocah dekil itu menjajakan kemelaratan yang riuh mengalahkan keriuhan tepukan tangan dalam seminar-seminar di hotel dan kampus-kampus ternama.

Para pemuda dan bapak-bapak meninggalkan kampung halaman berlomba-lomba memadati jalan raya demi sesuap nasi dan harapan-harapan kecil nan sederhana. Mereka telah beranak cucu, berhimpitan di pinggir-pinggir kali, kolong jembatan, lorong sempit di pinggiran kota, menunggu tendangan trantib dan aparat pembangunan.

Ibu-ibu dengan pakaian lusuh wajah memelas ribut mengetuk-ngetuk kaca mobil, dengan bayi yang tak kalah sedihnya wajah itu membiaskan rasa pilu menyayat. Lengkap sudah dengan lemparan recahan dari kaca mobil.

Masih disiang itu, dari bibir jalan dengan trotoar yang semakin hancur dengan ulah pengendara sepeda motor yang diburu waktu, sangat kelihatan sebuah bak sampah masih kokoh berdiri dengan sampahnya yang sudah sangat menumpuk hingga dengan sewenang-wenang mengeluarkan bau busuk.

Walau busuknya menyengat, tetap saja seorang anak kecil seusia anak sekolah dasar kelas 5, dengan tekun memungut gelas-gelas plastik dan koran-koran bekas. Mata tajamnya layaknya elang menukik memburu mangsa. Tangannya lihai bak professor dalam laboratorium penuh jejeran botol berisi cairan kimia. Hanya saja si anak itu sama sekali tidak memakai kain penutup hidung atau masker dan sama sekali kedua tangan telanjangnya tidak memakai sarung tangan. Ia tidak pingsan, ulet professional.

Anak seusianya telah dipaksa oleh keadaan yang sering saja terus menjadi alasan klasik proyek-proyek besar kepekaan sosial dan telah melahirkan banyak professor. Bila anak itu menjadi korban kekerasan atau sodomi, maka pekerjaan LSM anak dan polisi akan sibuk dan kemudian bertambahlah penghuni penjara, pengap makin sesak. Namun semua terus mengalir lama kelamaan sudah bukan gejala baru maupun opini dahysat untuk mengalihkan isu.

Kulirik jam tangan telah menujukkan hampir pukul 1 siang membara. Baru saja kutengok kembali bocah kecil itu, “Haa…!” Teriakkku kaget setengah mati, anak itu sudah melayang di atas bak sampah, orang-orang yang melihat juga berteriak keheranan, ramai kenderaan tiba-tiba saja semakin macet, para pengendara mobil menyembulkan kepalanya dari kaca mobil, ada yang berlari meninggalkan mobilnya, penuh rasa ingin tahu, motor-motor di parkir sembarangan mendekati bak sampah. Hanya dalam hitungan detik berjubel manusia sudah memadati area kecil bak sampah hingga ke meluber jalan raya, layaknya antrian sembako di musim bencana. Saling dorong dan injak, sikut kiri kanan hingga ada yang terjatuh merintih-rintih terinjak.

Aku yang tanpa kusadari sudah berlari mendekat pun ikut berdesakan, menatap wajah anak itu penuh keheranan. Wajah anak itu terlihat ketakutan dengan kedua kelopak mata yang kelelahan menahan banjir air matanya. Tubuhnya melayang-layang tiga meter di atas bak sampah. Seorang ibu berjilbab biru dengan tas kulit mengkilat berlogo Versace nampak lebih mendekat ke bak sampah sambil menutupi hidungnya berkata, “Mari nak, coba turun ke sini, nanti ikut ibu ke rumah yaa…”

Belum sempat ibu itu melanjutkan kata-katanya, seorang bapak gemuk berjas hitam dengan pin emas Garuda, menjulurkan tangannya ke atas, jemari besarnya berlingkar logam murni menyala dengan mata merah delima, bapak itu setengah melompat berujar, “ Ayo ikut bapak saja! Ayo turun… turun nak…” Bujuk bapak itu.

Aku tidak tahu entah siapa bapak dan ibu dari anak itu, yang pasti aku pun bingung dan ingin sekali menolongnya, namun berjubel orang-orang sudah berebutan membujuk anak itu agar turun dan ikut bersama mereka. Tanpa mereka sadari sepatu-sepatu mengkilat mereka sudah masuk menginjak-injak kotoran dan sampah.

Inilah gejala baru langka dan luar biasa di Ibukota, seorang bocah pemulung yang tiba-tiba saja bisa terbang walau belum terbang sejauh Superman atau Gatot Kaca. Huft… ini akan menjadi berita besar pengalihan isu yang paling edan. Dua kakiku berjinjit sambil menoleh ke arah kanan jalan raya, puluhan meter jarak pandangku menatap lampu sirene mobil patroli berkilauan, sayup-sayup bunyi sirene seperti irama melankolis.

“Woiii… Parjooo… Parjoo..” teriak dua orang anak kecil terhimpit diantara tubuh orang-orang dewasa. Pakaian mereka yang kumal dan berlubang sebenarnya lebih layak untuk dibuang atau paling cocok untuk membersihkan knalpot dan benda-benda kotor lainnya. Bibir mungil mereka terus memanggil-manggil, walau hilang ditelan gemuruh suara-suara yang teramat berisik diterik siang itu.

Kuperhatikan lagi bocah yang melayang itu perlahan sepasang kupingnya berubah menjadi warna keemasan terang menyala berkilau mirip puncak monas. Anak itu melepaskan karung plastik rombeng yang sedari tadi masih dipegangnya, tangannya meraba-raba telinganya yang berubah kaku.

“Parjoo…” Hampir saja buyar keinginanku untuk mendekati kedua bocah yang terus memanggil nama temannya itu. Dorongan tubuh orang-orang dari belakang, kiri dan kanan, mau marah rasanya salah. Aku memaksa mundur beberapa langkah dan dengan susah berbalik paksa diantara himpitan orang-orang, tak kuladeni caci maki orang-orang yang terganggu, susah payah kudekati dua anak kecil tadi dan langsung kutarik seorang anak, dengan susah payah pula seorang temannya lagi bergerak mengikuti, ia berteriak kesakitan saat kakinya terinjak namun terus menerobos mengikuti temannya.

“Ada apa kak? Kenapa saya ditarik-tarik..,” celoteh anak itu sembari dengan sedikit paksaan kubimbing dia agar menjauh mencari ruang yang lapang.

“Ada yang ingin kakak tanyakan, nanti kakak kasih uang,” aku terus merangsek keluar. Beberapa orang yang entah wartawan atau orang yang sengaja membawa handycam dan kamera nampak kesal lalu memaki karena dorongan tubuhku mengganggu bidikan zoom yang mengarah pada anak yang masih terus melayang di atas bak sampah.

Aku tidak peduli karena merekapun sudah seperti orang yang kesetanan, debu dan panas yang sangat menyengat sudah tidak lagi dipedulikan mereka, terus berhimpitan saling injak penuh peluh dan bau keringat. Di samping warung rokok yang memakai pelataran trotoar, segera kukeluarkan dompet, dua lembar uang sepuluh ribuan kutarik, “Ini buat kalian berdua, ambil,” kuangsurkan sepuluh ribu masing-masing pada kedua anak itu.

“Kalian kenal siapa dia?” telunjukku mengarah pada objek yang masih terus menjadi tontonan.

“Itu teman kami kak,”

“Parjo?,”

“Ya Parjo kak, dia teman kami memulung…”

Aku menganggukkan kepala sembari menggigit bibirku yang kering. Betapa masih banyaknya pemulung dari kalangan anak-anak seusia anak sekolah, mereka terus berjuang mangais secuil kehidupan untuk bisa makan. Aku keluarkan beberapa isi dompetku.

“Bang… bang,” si abang penjaja di warung rokok dan minuman yang membelakangi nampak serius terus menatapi bocah yang masih melayang-layang di atas bak sampah.

“Wooii… bang, jualan gak?!” ujarku lebih keras, si abang seakan tidak mendengar. Bocah itu seakan telah menyihir semua orang.

“Beli bang,” Ku tepuk pundak si abang penjual.

“Oh iya… beli apa,”

“Minuman dingin 3 dan roti itu 5.”


***

Dari langit yang terang membiru tanpa gumpalan awan, semakin jelas helikopter melayang layang. Kemacetan yang teramat panjang telah membuat ramainya polisi dan tentara turun meminta orang-orang untuk menyingkir dan membuka jalan. Entahlah, perjalanan kepentingan siapa yang telah terjebak dalam kemacetan ini, yang pasti banyak para pengendara dan penumpang turun berdesak-desakan. Terlihat banyak yang masih berdiri di atas mobil-mobil pribadi mereka untuk dapat melihat dengan jelas.

Kerumunan orang-orang yang berdatangan sejak tadi, entah dari mana asalnya telah membuat satu langkah saja demikian susah. Aku dan dua orang teman Parjo yang tidak jauh dari lokasi, kini masih sulit untuk bergerak. Dor! Dor! Polisi mengeluarkan dua tembakan ke udara, kerumunan manusia sudah layaknya gelombang, ada yang terinjak-injak namun tiada yang peduli. Kuapit erat dua teman Parjo yang telah basah kuyup keringat yang sama basahnya denganku. Teriknya matahari semakin membuat lautan manusia ini seperti neraka. Parjo yang masih terus melayang hanya bisa menangis sambil memegang kupingnya.

Untuk membeli kembali minuman dingin terasa sulit. Kerumunan orang-orang terasa sulit dibubarkan polisi, orang-orang hanya bisa bergerak layaknya gelombang yang terkunci. Dor! Dor! Tembakan ke udara masih terus berdesing, kulihat banyak yang jatuh pingsan karena sesak kehabisan udara.

“Bagaimana ini kak..” ucap seorang anak yang masih kuapit erat. Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. Rasanya ini seperti dalam mimpi buruk. Ah! Percuma saja menyesali, tinggal menunggu kerja polisi dan semoga saja orang-orang ini mau bubar sehingga ruang gerak kembali leluasa.

Parjo anak kampung jauh, merantau bersama kedua temannya. Tidur di stasiun kereta atau di emperan toko dan terminal. Ibunya TKW di Malaysia bapaknya hilang tak tentu rimbanya. Sedih dan bingung kulihat Parjo terus menangis tak bisa turun.

Terlihat orang-orang yang berdiri di atas bak sampah sudah mulai turun setelah ada teriakan “Bubar dan menyingkir,” dari megaphone helikopter yang terbang rendah berputar-putar. Rambut Parjo terlihat lebih berkibar dan orang-orang mulai dapat bergerak menjauhi lokasi.

Puluhan meter jarak pandangku diantara kemacetan jalan raya, mobil pemadam kebakaran mengeluarkan semburan airnya. Orang-orang terlihat mulai bisa berlarian. Bunyi klakson yang sedari tadi riuh bersahut-sahutan.

Lebih dari dua jam tak terasa kaki gemetaran melangkah. Rasa lelah yang teramat sangat memilihku untuk melangkah pulang. Setelah berpamitan pada kedua teman Parjo yang menerima dengan anggukan kepala, mereka duduk selonjor kelelahan beralaskan karung. Sepertinya kedua anak itu mau pingsan, namun apa daya tubuh terasa sangat letih dan mataku mulai berkunang-kunang.

Tak kupedulikan lagi orang-orang yang terkapar pingsan, banyak sudah tidak peduli di Ibukota ini. Biarlah tim medis yang akan datang menjemput mereka. Seorang ibu dengan tubuh gemuk dan masih terkapar di jalan seraya berteriak minta tolong tak juga kupedulikan, kubuang pandanganku kedepan menuju kontrakan. Rasa kantuk yang menyerang melengkapi rasa lelah tubuh ini. Kemeja dan celana panjang jinsku masih basah keringat.

Perjalanan menuju ke tempat saudara yang sudah setengah perjalanan ku urungkan. Tak kulirik lagi Parjo yang masih melayang-layang terbang di atas bak sampah itu, yang terpenting adalah secepatnya sampai di rumah, tidur melepas lelah tubuh ini. Ramai kendaraan masih masih macet memenuhi jalan raya, padahal tidak jauh dari jalan besar ini sudah masuk jalan tol.

Perlahan langkahku menuju halte, bus, metromini, angkot, ah aku sampai lupa naik apa untuk pulang. Sekonyong-konyong mata kantukku terbelalak, kulihat mobil-mobil pribadi, bus dan angkot mulai terangkat terbang.


By. M.Danial Bangu

2010

About Me

Foto saya
Betapa indahnya Alam dan segala isinya yang penuh daya guna... foto adalah perwakilan dari sejarah, dari masa ke masa...

Followers