Minggu, 13 November 2011

Elang

Burung-burung menyeruak keluar dari dadaku
turun naik lalu menukik
deru angin jadikan gagah elang-elangku...
kibasan bulu mereka hentakkan kilau mentari
menantang badai kuat cengkraman
tangguh tiada keluh
Wajah elang wajah keteguhan

terbang... terbang mereka dari dadaku
teman matahari sahabat angkasa
mereka dzikir nikmatnya hutan
berkelebatan perkasa di awan
mereka terbang dari dadaku

mdb Depok, Oktober 2011

Lepas Kendali

Sungguh tragis nasibmu
maling ayam...
coba jauh sebelumnya
kau belajar
hingga jadi orang intelek
lalu jadi pejabat negara
yang banyak relasi tingkat tinggi...
Lalu kau bobol APBN, suap sana sini, mark up

semua nilainya bisa miliaran bahkan triliunan
tentu kau bisa membeli banyak ayam pun dapat kau simpan di villa
atau apartemen dalam dan luar negeri
tanpa kau harus mati


Jakarta, Oktober 2011
Jumat, 07 Oktober 2011

di Negeri Ini Banyak yang Mimpi

Sebab saya melihat...
Anak-anak yatim menjemput haknya walau panas membakar dan debu menikam
Orang-orang jompo gigih tertatih bekerja
Ibu-ibu mengemis serak suara memelas pecah
Balita miskin meminta-minta
Bayi-bayi dekil ikut figuran kaum melarat
si bisu pun ikut mengamen

Tali dan tiang gantungan
Apalagi desingan peluru
telah menjadi pilihan mereka yang brengsek
Itu semua hanyalah mimpi di siang bolong

Sang tuan rumah kemalingan
di rumah sendiri
dekat...
sangat dekat dari kepalanya
dengan ranjang empuk pelepas lelah
anaknya sendiri ikut durjana
Sebab dia juga melihat

Mungkin hanya dalam mimpi...

mdb, mei 2011

Semangat Cinta


Foto : Dokumen Pribadi

Pada semilir angin pagi
Berputar masa pengap dan sesak
Saat kuncup pun telah tinggi…
Bermekaran di atas sana
Naluri semangat leluasa membahana
Tertata rapi kami bawa hasil bumi
Jerih payah petani perkasa

Sadar kerja adalah mulia
Bangkit fikir percaya nasib
Keliling kami sejauh apapun bisa
Walau untung tak seberapa
Intelek buntung dijepit KPK
Sepenuh cinta kuatkan rasa
Betapa nikmat bebas merdeka


Maret 2010, M.Danial Bangu

Izinkan Kami Menjual Lemari


Foto : Dokumen Pribadi

Peluh kami adalah cahaya
Walau kalian tak pernah mau tahu siapa kami
Punggung dan kaki kami akan bersaksi
Sesuap nasi dan sedikit cita
Kami tak ingin menadahkan tangan
Tambo ketulusan aliri darah berdenyut ke nadi

Terserah apa itu inflasi
Yang kami mau belilah lemari
Untuk buku atau apa saja
Bisa untuk hadiah mertua

Baiknya jangan banyak bertanya
Sebab lemari ini sederhana saja
Jalanan panjang kan terasa lapang
Bila terjual hati pun senang


2009, M.Danial Bangu
Sabtu, 01 Oktober 2011

Masa




Perlahan engkau kumpulkan cahaya
tenang meliuk gemulai semua tangkai
pada kerongkongan tunas semua harapan
ketika menanam riang yang bergegas
saat memetik nikmat tersenyum...

Kepada mereka ribut berburu
menuai resah lalu memacu
menabrak kepingan masa
hiasan legam meledak pecah
memekik rasa...
di awang-awang

Bila semua tlah dikumpulkan
bersama cahaya engkau kan pulang

mdb
Semarang, September 2011

Rasional




Berfikir secara rasional dianjurkan oleh semua agama. Manusia diberi kelebihan berupa akal yang segala perilaku hadir dari perintah otak, sangat terkait dengan kondisi hati. Ini merupakan karunia khusus dari sang maha pencipta, Allah subhanahu wata'ala. Hewan-hawan pun oleh Allah diberikan otak, namun daya fikir hewan sangat jauh dari daya fikirnya dari apa yang dimiliki manusia. Cara berfikir hewan lebih kita kenal dengan kata insting. Penulis mencoba sedikit mengupasnya dari segi kajian Islam sebagai rahmatan lil alamiin. Ketika nabiullah Adam alahissalam selaku manusia pertama di bumi, walaupun telah dirahmati Allah dengan ampunan dan merupakan Nabi pertama dan bapaknya para manusia, beliau dengan akal telah membuat rumah dari kayu dan berpakaian dari tumbuh-tumbuhan serta beternak. Sebab pada saat itu belum ada lowongan pekerjaan sebagai bodyguard, karena manusia cuman ada beliau, Hawa, Habil, Qobil, Labudza dan Iqlima. Untuk selajutnya manusia terus beranak pinak.

Nabi Ibrahim alahissalam menghancurkan semua patung dan menyisakan patung yang besar, yang pada hakekatnya beliau ingin mengajarkan agar para penyembah berhala menggunakan otaknya untuk berfikir secara rasional. Demikian pula Rasulullaah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, tidak mengiyakan tawaran Malaikat untuk menimpakan gunung-gunung pada masyarakat di Thaif yang telah meledek menghina dan melempari Rasul dengan batu hingga wajah beliau terluka demi jalan dakwah yang terus ditempuh beliau hingga ajal menjemput.

Banyaknya manusia tersesat sehingga jauh dari ilmu pengetahuan disebabkan karena terlalu condongnya cara berfikir pada hal-hal yang ingin segera dicapai. Aristoteles pernah mengatakan dalam bukunya Nous atau akal merupakan bagian yang paling mulia dalam diri manusia, dan dalam buku-buku Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa kebersihan hati adalah keutamaan pada tehnik berfikir untuk tidak terjebak pada dorongan hawa nafsu yang merugikan dan mencelakakan.

Well... semoga kita semua bisa berhati-hati dalam menjalani hidup ini dan berhati-hati juga di jalan raya. (mdb,September 2010)
Senin, 08 Agustus 2011

Cerpenku Tahun 2000

PETOJO

Oleh MOCH DANIEL BANGU


Entah roh geblek mana yang menyelubungi sebagian penghuni Petojo, Jakarta Pusat. Gerak gerikku sering diperhatikan. Dari pakaianku, tatapanku bahkan kalau aku lari pagi, kurasakan aku sering dicurigai.
Padahal senyumku sering kubiaskan. Mengharapkan suasana yang harmoni. Namun, hawa itu masih tetap kurasakan. Mungkin karena aku belum mendapatkan pekerjaan lagi, setelah keluar dari perusahaan furniture di Bekasi.

Sungguh tak menyenangkan menjadi pengangguran di kampung orang. Aku memang menyukai tempat kosku ini. Karena tak ada kumpul kebo, atau memang aku belum tahu. Ibu Ical yang asli orang Ambon sangat baik kepadaku. Dia sering mengikhlaskan koran atau pun majalah yang telah dibacanya. Untuk kuambil dan kubaca, mumpung gratis. Dan beberapa penghuni kos yang tak kalah baiknya kepadaku.

Aku kadang mengirimkan cerpen karyaku ke beberapa majalah dan tabloid untuk mengisi waktuku yang kosong. Tapi kebanyakan ditolak. Memang kuakui cara penulisanku yang masih agak kacau, belum lagi aku tak pandai mengetik. Namun aku terus berusaha untuk memperbaikinya. Teman sekamarku yang bekas Anak Buah Kapal selalu memberiku support.
"Bagaimana Nel. Jadi tidak pacarannya sama cewek lokal."
"Cewek lokal? Apa maksudmu, Wan," balasku memutar pertanyaan Iwan yang tak kumengerti.

"Ah kami seperti tak mengerti retorika kita sehari-hari," Iwan dengan gaya kapten kapal menunjuk arah kanan dinding kamar. Kini aku mengerti. Gadis SMU itu memang sering mengisi lamunanku. Apalagi rumahnya di belakang kamarku, hanya beberapa meter dari rumah-rumah mungil di belakangnya. Senyumnya mengingatkanku kepada anak seorang pembeli kursi sofa di daerah bagian Bekasi. Waktu itu ia memmbawakanku sebotol air es, disaat aku sedang memperlihatkan brosur furniture kepada ibunya. Kutaksir umurnya sekitar enam belas tahun, karena wajahnya masih ayu tanpa polesau pabrik. Tingkahnya ngelangutkan jiwa. Dan sungguh kasihan nasibku. Waktu kutelepon ingin bicara dengannya, ibunya melabrakku dengan kata-kata....
"Hei jadi tidak!" Iwan membuyarkan lamunanku.

"Payah, Wan. Mungkin nanti kalau kita sudah jadi orang kaya."
"Ha ha ha, dan tak ada lagi yang curiga. Ha ha ha." Aku dan Iwan kembali hanyut dalam tawa

*****

Sudah beberapa hari ini aku hanya mengurung diri dalam kamar. Aku merasakan orang-orang menyangkaku lagi fly. Karena Iwan kerja di night club sebagai waiter dan mereka mengira kita pengedar narkoba. Aku sering tertawa sendiri membayangkan piciknya otak-otak di kompleks ini. Prangko Malcolm X yang tertempel di pintu kamarku mungkin disangka bandar sindikat. Celana loreng pemberian temanku yang lulus kepolisian Brimob, bisa jadi dikira pemberian beking.

Inilah Jakarta dalam segenap kecurigaan. Aku memahami semua itu dan tetap bertahan. Pasti Allah Sang Pencipta akan memberikan kemudahan bagiku. Sesuai prinsip hidup di balik kesusahan ada kemudahan. Selagi kita mau berusaha dan berdoa.
Malam itu, sepertinya Iwan sudah pulang. Kudengar bunyi sepatu di luar kamar. Dan benar, ia masuk dan membawa bau kaki.

"Cuci dulu kakimu," pintaku dengan tangan menutup hidung. Iwan hanya diam dan langsung keluar dari dalam kamar. Semenit kemudian ia masuk lagi.
"Kasihan Nel." Iwan menghempaskan pantatnya di lantai. Ia mengambil sebuah majah Donal Bebek. Terlihat guratan di wajahnya menggambarkan berita kesedihan yang dibawanya.

"Kasihan kenap,a Wan?" Aku berdiri dan segera menyetel lagu daerah asalku dan Iwan untuk menenangkan suasana hatinya.
"Pasi-pasire..odoi ngokoware tatilio tembe...," sayup-sayup terdengar lagu ceria. Wajah Iwan sedikit berubah dari yang sebelumnya.
Aku dan Iwan memang sudah seperti saudara. Selalu berbagi dalam suka dan duka. Walaupun tak ada pertalian darah di antara kita.

"Si Topik, Nel," ucap Iwan.
"Si Topik. Oo Si Topik tukang sate," tanyaku menyambung ucapannya.
"Kenapa Wan," aku mengambil sebatang rokok dan kemudian membakar ujungnya.
"Tadi setelah selesai makan satenya." Iwan menutup majalah Donal Bebek dam berganti memegang kepalanya.
"Ia berbisik kepadaku, katanya adiknya sakit dan dia butuh uang."
"Berapa?" Aku mengambil dompetku dan tendangan kaki Iwan yang kudapatkan. Sesaat kita hanyut dalam tawa.

"Cak Topik penjual sate terbaik yang kami kenal. Ia sering mengutangkan satenya, kalau lagi bokek. Dan dia pernah mengatakan, aku dan Iwan adalah pengutang tercepat dalam soal pelunasan.
"Bagaimana Nel?" Iwan bertanya lagi dengan sisa tawa.
"Yang pasti, walau agak berat, aku katakan tidak ada. Ia pun memakluminya. Sambung Iwan menjelaskan.
"Hutang satemu sudah berapa Wan?"
"Ah belum dua puluh ribu," jawab Iwan dan mengambil sebatang rokok.
"Eh Wan ada sayembara," ujarku mulai memancing lagi
"Dengan total hadiah 1000 triliun," sambung Iwan lebih lihai. Dan dinding kami terdengar ditonjok-tonjok orang dari luar, malam itu. Karena agak terganggu dengan suara tawa kami.

****

Pagi yang indah batinku memuji dalam hati. Kupandang dan kuhirup udara segar di depan kamarku yang terletak di bagian luar rumah kos-kosan. Setelah berlari-lari di tempat dan menggerakkan otot-otot tubuhku.
Sudah beberapa hari ini aku selalu mengurungkan niatku untuk lari subuh. Karena kakiku yang telanjang sering dilihat. Jangan-jangan pulangnya bawa sepatu atau sandal. Mungkin begitulah isi pikiran orang yang melihat kakiku yang selalu telanjang kalau lari subuh. Dasar orang kompleks yang picik, gerutuku memaki dalam hati.

Aku duduk di kursi rotan dan membaca surat kabar yang ada di sebelah kursi rotan yang satunya lagi. Mataku tertuju pada sebuah kolom nostalgia yang menceritakan sejarah kampung-kampung di Jakarta. Aku ingin mengirin surat ke redaktur koran ini. Agar dimuatkan sejarah tentang Petojo.

"Nel ada lowongan," setengah berteriak suara Iwan dari dalam kamar. Aku tak mempedulikan. Aku sudah bosan. Lowongan penipu.
Tapi Iwan keluar dari kamar dan memperlihatkan sebuah lowongan tentang dicarinya orang yang kerja di salon kecantikan.
"Ha ha ha," aku dan Iwan kembali tenggelam dalam tawa, mengingat kita pernah dikira homo seks.

http://default.tabloidnova.com/microsite/cerpen/index.php/kumpulan-cerpen-lengkap/19-petojo

Jumat, 22 Juli 2011

Istriku

Ingatkah ketika hujan menerpa
mendekapmu adalah nikmat sinergi
untuk setiap rintik
deras harumkan anugrah
lengkap tiada berbilang

istriku...
lembut setiap pelukanku
tersisip doa
harapan sederas bulir hujan
merekah semua kecupan
yang ronakan wajahmu
suburlah cinta


mdb, Juli 2011

Zaman Santri

Tenggelam diri tenggelam
Menjadi ikan, jauh menyelam
Dunia gelap tubuh tak legam
Melahap kitab nafsu diredam
Kasih sayang tak pernah padam

Bertambah ilmu bertambah malu
Luas samudra seujung kuku
Apalah daya dalam dirimu
Bila sholat tanpa ilmu
Lalu makan yang bukan hartamu

Alangkah nikmat menjadi santri
Merenda hari bersama pelangi
Cahaya menembus menyapa hati
Semangat subuh menopang pagi
Mandi dzikir sepanjang hari


MDB

Mei, 2011

Sunyi

Bila cinta menyapamu
Siapkanlah senyum sewajarnya saja

dan bila engkau masih ingin sendiri
Itu pun tiada mengapa
Sebab kesendirian itu indah
selama engkau baik-baik saja

mdb

Ibu

Malam yang hening ini teringat ibu
Aku sering membuat banjir kala ia tidur
Merengek manja bila haus asi
Tak peduli bila tubuh ibu lelah sekali

Sekarang anak lelakiku sama sepertiku
Hampir dua tahun masih doyan asi
Merengek...
Basah...
Popoknya kuganti lagi

Ibu mertua malah senang
Walau tangisan kencang cucu laki-laki pertama membangunkannya
dibuai-buai tak kenal lelah

Malam yang hening ini teringat ibu
Selalu ada doa
Pada setiap malamku
Untukmu ibu


mdb
Kendal, Mei 2011

Kesabaran

KepadaMu duhai yang memberi kekuatan
dengan sepenuh harap dan malu
aku bersimpuh
Meminta semoga kiranya Dikau sudi
menambah kesabaran...
yang mampu mengalahkan kejahilan diri ini

Engkau tetapkan aku
dapat bersama Beliau sang pencinta umatnya
untuk bersama menikmati wajahMu
walau hati ini sesungguhnya telah berlinang air mata
menginginkan tenggelam dipelukMu
duhai yang Maha Sabar...


April, 2011

mdb
Sabtu, 30 April 2011

Renunganku




Ketika semua telah dirasakan telah cukup, maka berhati-hatilah pada keinginan-keinginan yang membuat hati jauh terlena, fikiran dan waktu akan disita, dan semua kan terasa terus kurang... dan kurang... ohh... colibri nikmatnya menjadi dirimu, indah tubuhmu... ajari aku terbang, aku tak ingin menjadi bodoh demi sehelai sayap nyamuk.


Keutamaan dalam hidup adalah bila diberi rezeki selalu bersyukur, bila diberi cobaan hadapi dengan kesabaran dan kebahagiaan untuk keselamatan terletak pada dari mana harta didapatkan dan kemana dibelanjakan. Malu akan menyelamatkanmu, taqwa pastilah memuliakanmu.


Ada satu kekuatan besar selain sabar sehingga diri selalu bangkit penuh semangat, ia adalah pemantik kekuatan untuk semua rasa cinta pada kebaikan, dengannya segala sesuatu terus hidup hingga menjadi mimpi-mimpi indah, catatan atau rencana. Dialah yang bernama Harapan...


Alhamdulillaah... yaa Allah... purnama itu mau berbincang panjang, biarlah melalui hatinya saja. Tiada yang salah, selama akal sehat masih berpacu pada tanggung jawab, dan doa mampu membeli seisi jagat.


Semua yang dalam keselamatan adalah kesenangan, namun tidak semua kesenangan dalam keselamatan.


Menyebrang pulau dengan perahu,
Jangan lupa kayuh dayungnya,
Bila engkau hendak berguru,
Jangan lupa hendak kemana.


Saat seorang alim menghadapi sakaratul maut, ia rasanya ingin menyedekahkan lagi hartanya yang hanya beberapa pakaian dan kitab-kitabnya. Seorang hartawan yang bakhil ketika sakaratul maut, matanya terbelalak, susah payah dikumpulkannya kekayaan namun tak bisa membeli usia walau hanya sedetik saja.


Perubahan peradaban lebih panjang dari usia, urusan perut dan di bawah perut membuat orang lupa pada usia dan manfaatnya.


Allah menciptakan bunga, agar wanginya khusus untuk kita, semerbaknya telah kau taburkan di kepalamu... keharuman itu masih terasa, maka jagalah... sebab Malaikat pun telah jatuh hati padamu.


Bila saudara telah paham hakekat nafsu pada lawan jenis, maka ia akan menjadi rahmat, dengan ungkapan yang jantan dan to the point, "Menikahlah denganku"
Peringatan : Nafsu dapat merugikan kesehatan bahkan penyakit edan bisa datang, bukan saja mengganggu kehamilan dan janin, nafsu juga membuat noda pada perjalanan hidup para gadis.


Bila jalan pintas bisa dengan mudah, boleh dengan riang datanglah menuju... saat semua terlelap dan usia terus menanjak... mereka telah mabuk membeli dosa, hura-hura, keangkuhan, egoisme, ataukah ilmu duniawi telah menjebak ambisi karier... arah itu semestinya mudah namun menjadi buntu, futur yang dipelihara menikam wara' seterusnya bencana menjadi biasa.


Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, saat kalian makan enak, tidak jauh dari istana dan rumah masih banyak yang kelaparan, anak-anak, orang-orang terlantar, si cacat yg mencari nafkah..., setelah doa yang utama adalah bantuan dan segera basmi orang-orang culas dan curang!


Tidak semua bisa dibeli, jadi katakan padaku apa yang anda sombongkan? Apakah semua yang kau kumpulkan dengan susah payah hingga mengorbankan banyak waktu dengan Sang Pencipta.., akan kau bawa? Ooh... semoga keangkuhan tidak akan pernah menjadi selimutku, sedikit ilmu yg kumiliki untuk harapan pandangan kasih sayangNya.


Lagi-lagi cinta sengaja kuselipkan pada rangka layanganmu, biar terbang tinggi ulur talinya, kalau menukik jatuh... lelah terbangkannya lagi, bila putus melayang jauh ke hutan, monyet akan mengambilkannya namun tiada cinta. Dimana? Kemana cinta yang telah kuselipkan pada rangka layanganmu...? Oh... ternyata sudah kau telan juga.


Ketika dirimu tersenyum padaku, terkadang terlihat jelas tersipu malu, polos dalam kejujuran yang aku suka, sederhana yang kudamba, tidak memaksa dan apa adanya, tulus membantu lagi jauh dari glamournya tawaran hidup.., engkau memang berbeda, maka tidak berlebihan bila aku menjadi pencintamu karena kau makin mengerti akan cinta dan kasihNya.


Anak-anak negeri terlunta-lunta
Seperti tidak punya negara
Untuk apa menteri dan pejabat negara
Selalu saja harus dengan demo atau angkat senjata
Hingga mereka berak di celana


Setelah rinai hujan tadi, pertemuan ini sederhana sewajarnya saja, yang istimewa adalah senyummu... walau sekilas terlihat ikhlas.


Nenek yang memulung itu tidak pernah merasa berhutang, anak muda yang mengamen di bus tadi tidak paham apa itu cash flow, pasar saham dan orang cacat yang dengan semangat berjualan koran tidak kenal apa itu presidensial serta berapa dan siapa saja menteri yang sehat jasmani juga rohani. Nenek, anak muda dan orang cacat, mereka bisa saja ingin jadi pejabat dan juga bisa lebih baik.



Bila dirimu bisa menjadi lebah, itu jauh lebih baik untuk leluasa menjelajah, walau dengan sengatan yang terbatas, lebah lebih punya nyali dan menyukai kerjasama, tarian mereka pun adalah seni tiada ternilai.


Bila telah menatapnya, sedikit demi sedikit mulai kenal siapa dia..., kemudian ada mimpi dan terkadang teringat wajahnya, itu masih wajar dan biasa-biasa saja dalam diri setiap insan manusia, sekedar sebatas suka dan senang dengannya. Semua hal itu belumlah termasuk dalam cinta yang sesungguhnya, sebab cinta lahir setelah diuji.


Tiada terasa waktu memburu, Ramadhan telah di ambang pintu, Bila masih nafas membantu, Tunaikan niat amal selalu.



Bicaralah dengan ilmu, menempuhlah pakai peta, ukurlah pada malu, tidurlah penuh cinta.


Setelah nikmat wudhu, haraplah seulas cinta, biar lelap tidurmu, wangilah dzikir angkasa.


Semua
akan berakhir... burung-burung kan terbang jauh... nyiur makin tua dan
jatuh... ombak selalu kembali... namun dirimu, tetaplah demikian adanya.


Hidup bukan sekedar kata, pergi baik jelas tujuan, tiada kata seindah doa, setelah doa tetaplah berjalan.


duhai jiwa yg rapuh...terbanglah ke bintang...ucapkan salam agar bulan pun dengar.. kuingin ia tahu, ku dilanda sendu...


Saat semua maghrib dikumpulkan, untuk melengkapi rombongan Dzuhur dan Ashar, mereka akan tafakur bersama agar subuh bisa hadir, niscaya mereka akan menolong kita untuk mendapatkan kunci.


Pandai pandailah menanam padi, walau rumput tumbuh mengganggu, jangan biarkan sedih menanti, sebab waktu terus memburu.


Bila semua ampunan telah habis kita
lahap, maka masih adakah malu kita untuk meminta ampunan lagi?


Kau memang berpura-pura polos dan lugu. Sedemikian rapi kau olah sandiwara kelihaiannmu dlm bersembunyi, terus dan slalu saja kau bermain, entah apa yang kau cari. Hingga malam telah larut, kau ajak aku
bercanda dengan suaramu yang khas, dan tubuhmu yang semakin
dewasa. Banyak orang-orang yang mengejarmu bila kau makin
besar, mereka akan melemparmu dengan batu atau dengan apa saja...
dasar tikus! Kau makin besar dan mulai mengalahkan kucing!


Saat semua orang menjadi gila, biarlah kita berpura-pura gila, menciumi rembulan yg sedemikian halus terang sinarnya, aku pun tak akan meminta kembali bintang-bintang yang telah kau sulam, hingga semua warna pagi menjadi benang untuk pakaian kita yg nilainya tiada terhingga...


Bila tidak ingin jadi bangkai, belajarlah tentang langit


Melihatmu terasa cukup, selebihnya biarlah cita-cita... sebab harapan yang suci adalah ketulusan gerak semangat, tak dapat direguk pun akan menjadi senyum saat kiamat, selama kita baik-baik saja.


Diam-diam mengumpulkan apa yang memang layak. Saat melesat terbang, biarlah berhamburan dari langit... menjadi rinai hujan untuk hutan yang terbakar, satwa masih ingin riang, kumbang dan kupu terbang kian kemari...


InsyaAllah semua kan baik-baik saja, relakanlah dia pergi, sampai musim berganti... dan masih terasa sulit melupakannya... semua terserah padamu... selama masih baik-baik saja, menunggunya hingga senja, atau segera membuka jendela... untuk pagimu yang lebih baik lagi.


Saya tetap yakin batu-batu itu akan tetap berbicara, menerjang timah besi dan baja. Cuaca telah sering mampu mengalahkan canggihnya teknologi, dan gelisah mendadak menerkam gelimpangan sanubari. Rakusnya pembangunan bisa dengan sengaja menyulut api jelata. Ohh tajamnya lidah bisa menghanguskan mobil-mobil, kantor & pabrik galangan kapal hitam jelaga.


Bila saudara mengharapkan seseorang yang sempurna, sesuai keinginan hasrat dan cita, tuk mengarungi hidup bersama. Niscaya tidak akan pernah ada orang seperti itu, yang ada hanyalah saling memahami, menghargai, memuji, membela dan saling menutupi kekurangan, sebab saudara telah mencintainya.


By. M.Danial Bangu

2010 - 2011

Kesabaran

KepadaMu duhai yang memberi kekuatan
dengan sepenuh harap dan malu
aku bersimpuh
...Meminta semoga kiranya Dikau sudi
menambah kesabaran...
yang mampu mengalahkan kejahilan diri ini

Engkau tetapkan aku
dapat bersama Beliau sang pencinta umatnya
untuk bersama menikmati wajahMu
walau hati ini sesungguhnya telah berlinang air mata
menginginkan tenggelam dipelukMu
duhai yang Maha Sabar...


April, 2011

mdb
Rabu, 23 Februari 2011

Cerpen

TERBANG



Ketika siang masih menyemburkan hawa panasnya dan jutaan knalpot penghuni setia jalan raya berseliweran dalam kemacetan yang akut, masih saja bocah-bocah dekil itu menjajakan kemelaratan yang riuh mengalahkan keriuhan tepukan tangan dalam seminar-seminar di hotel dan kampus-kampus ternama.

Para pemuda dan bapak-bapak meninggalkan kampung halaman berlomba-lomba memadati jalan raya demi sesuap nasi dan harapan-harapan kecil nan sederhana. Mereka telah beranak cucu, berhimpitan di pinggir-pinggir kali, kolong jembatan, lorong sempit di pinggiran kota, menunggu tendangan trantib dan aparat pembangunan.

Ibu-ibu dengan pakaian lusuh wajah memelas ribut mengetuk-ngetuk kaca mobil, dengan bayi yang tak kalah sedihnya wajah itu membiaskan rasa pilu menyayat. Lengkap sudah dengan lemparan recahan dari kaca mobil.

Masih disiang itu, dari bibir jalan dengan trotoar yang semakin hancur dengan ulah pengendara sepeda motor yang diburu waktu, sangat kelihatan sebuah bak sampah masih kokoh berdiri dengan sampahnya yang sudah sangat menumpuk hingga dengan sewenang-wenang mengeluarkan bau busuk.

Walau busuknya menyengat, tetap saja seorang anak kecil seusia anak sekolah dasar kelas 5, dengan tekun memungut gelas-gelas plastik dan koran-koran bekas. Mata tajamnya layaknya elang menukik memburu mangsa. Tangannya lihai bak professor dalam laboratorium penuh jejeran botol berisi cairan kimia. Hanya saja si anak itu sama sekali tidak memakai kain penutup hidung atau masker dan sama sekali kedua tangan telanjangnya tidak memakai sarung tangan. Ia tidak pingsan, ulet professional.

Anak seusianya telah dipaksa oleh keadaan yang sering saja terus menjadi alasan klasik proyek-proyek besar kepekaan sosial dan telah melahirkan banyak professor. Bila anak itu menjadi korban kekerasan atau sodomi, maka pekerjaan LSM anak dan polisi akan sibuk dan kemudian bertambahlah penghuni penjara, pengap makin sesak. Namun semua terus mengalir lama kelamaan sudah bukan gejala baru maupun opini dahysat untuk mengalihkan isu.

Kulirik jam tangan telah menujukkan hampir pukul 1 siang membara. Baru saja kutengok kembali bocah kecil itu, “Haa…!” Teriakkku kaget setengah mati, anak itu sudah melayang di atas bak sampah, orang-orang yang melihat juga berteriak keheranan, ramai kenderaan tiba-tiba saja semakin macet, para pengendara mobil menyembulkan kepalanya dari kaca mobil, ada yang berlari meninggalkan mobilnya, penuh rasa ingin tahu, motor-motor di parkir sembarangan mendekati bak sampah. Hanya dalam hitungan detik berjubel manusia sudah memadati area kecil bak sampah hingga ke meluber jalan raya, layaknya antrian sembako di musim bencana. Saling dorong dan injak, sikut kiri kanan hingga ada yang terjatuh merintih-rintih terinjak.

Aku yang tanpa kusadari sudah berlari mendekat pun ikut berdesakan, menatap wajah anak itu penuh keheranan. Wajah anak itu terlihat ketakutan dengan kedua kelopak mata yang kelelahan menahan banjir air matanya. Tubuhnya melayang-layang tiga meter di atas bak sampah. Seorang ibu berjilbab biru dengan tas kulit mengkilat berlogo Versace nampak lebih mendekat ke bak sampah sambil menutupi hidungnya berkata, “Mari nak, coba turun ke sini, nanti ikut ibu ke rumah yaa…”

Belum sempat ibu itu melanjutkan kata-katanya, seorang bapak gemuk berjas hitam dengan pin emas Garuda, menjulurkan tangannya ke atas, jemari besarnya berlingkar logam murni menyala dengan mata merah delima, bapak itu setengah melompat berujar, “ Ayo ikut bapak saja! Ayo turun… turun nak…” Bujuk bapak itu.

Aku tidak tahu entah siapa bapak dan ibu dari anak itu, yang pasti aku pun bingung dan ingin sekali menolongnya, namun berjubel orang-orang sudah berebutan membujuk anak itu agar turun dan ikut bersama mereka. Tanpa mereka sadari sepatu-sepatu mengkilat mereka sudah masuk menginjak-injak kotoran dan sampah.

Inilah gejala baru langka dan luar biasa di Ibukota, seorang bocah pemulung yang tiba-tiba saja bisa terbang walau belum terbang sejauh Superman atau Gatot Kaca. Huft… ini akan menjadi berita besar pengalihan isu yang paling edan. Dua kakiku berjinjit sambil menoleh ke arah kanan jalan raya, puluhan meter jarak pandangku menatap lampu sirene mobil patroli berkilauan, sayup-sayup bunyi sirene seperti irama melankolis.

“Woiii… Parjooo… Parjoo..” teriak dua orang anak kecil terhimpit diantara tubuh orang-orang dewasa. Pakaian mereka yang kumal dan berlubang sebenarnya lebih layak untuk dibuang atau paling cocok untuk membersihkan knalpot dan benda-benda kotor lainnya. Bibir mungil mereka terus memanggil-manggil, walau hilang ditelan gemuruh suara-suara yang teramat berisik diterik siang itu.

Kuperhatikan lagi bocah yang melayang itu perlahan sepasang kupingnya berubah menjadi warna keemasan terang menyala berkilau mirip puncak monas. Anak itu melepaskan karung plastik rombeng yang sedari tadi masih dipegangnya, tangannya meraba-raba telinganya yang berubah kaku.

“Parjoo…” Hampir saja buyar keinginanku untuk mendekati kedua bocah yang terus memanggil nama temannya itu. Dorongan tubuh orang-orang dari belakang, kiri dan kanan, mau marah rasanya salah. Aku memaksa mundur beberapa langkah dan dengan susah berbalik paksa diantara himpitan orang-orang, tak kuladeni caci maki orang-orang yang terganggu, susah payah kudekati dua anak kecil tadi dan langsung kutarik seorang anak, dengan susah payah pula seorang temannya lagi bergerak mengikuti, ia berteriak kesakitan saat kakinya terinjak namun terus menerobos mengikuti temannya.

“Ada apa kak? Kenapa saya ditarik-tarik..,” celoteh anak itu sembari dengan sedikit paksaan kubimbing dia agar menjauh mencari ruang yang lapang.

“Ada yang ingin kakak tanyakan, nanti kakak kasih uang,” aku terus merangsek keluar. Beberapa orang yang entah wartawan atau orang yang sengaja membawa handycam dan kamera nampak kesal lalu memaki karena dorongan tubuhku mengganggu bidikan zoom yang mengarah pada anak yang masih terus melayang di atas bak sampah.

Aku tidak peduli karena merekapun sudah seperti orang yang kesetanan, debu dan panas yang sangat menyengat sudah tidak lagi dipedulikan mereka, terus berhimpitan saling injak penuh peluh dan bau keringat. Di samping warung rokok yang memakai pelataran trotoar, segera kukeluarkan dompet, dua lembar uang sepuluh ribuan kutarik, “Ini buat kalian berdua, ambil,” kuangsurkan sepuluh ribu masing-masing pada kedua anak itu.

“Kalian kenal siapa dia?” telunjukku mengarah pada objek yang masih terus menjadi tontonan.

“Itu teman kami kak,”

“Parjo?,”

“Ya Parjo kak, dia teman kami memulung…”

Aku menganggukkan kepala sembari menggigit bibirku yang kering. Betapa masih banyaknya pemulung dari kalangan anak-anak seusia anak sekolah, mereka terus berjuang mangais secuil kehidupan untuk bisa makan. Aku keluarkan beberapa isi dompetku.

“Bang… bang,” si abang penjaja di warung rokok dan minuman yang membelakangi nampak serius terus menatapi bocah yang masih melayang-layang di atas bak sampah.

“Wooii… bang, jualan gak?!” ujarku lebih keras, si abang seakan tidak mendengar. Bocah itu seakan telah menyihir semua orang.

“Beli bang,” Ku tepuk pundak si abang penjual.

“Oh iya… beli apa,”

“Minuman dingin 3 dan roti itu 5.”


***

Dari langit yang terang membiru tanpa gumpalan awan, semakin jelas helikopter melayang layang. Kemacetan yang teramat panjang telah membuat ramainya polisi dan tentara turun meminta orang-orang untuk menyingkir dan membuka jalan. Entahlah, perjalanan kepentingan siapa yang telah terjebak dalam kemacetan ini, yang pasti banyak para pengendara dan penumpang turun berdesak-desakan. Terlihat banyak yang masih berdiri di atas mobil-mobil pribadi mereka untuk dapat melihat dengan jelas.

Kerumunan orang-orang yang berdatangan sejak tadi, entah dari mana asalnya telah membuat satu langkah saja demikian susah. Aku dan dua orang teman Parjo yang tidak jauh dari lokasi, kini masih sulit untuk bergerak. Dor! Dor! Polisi mengeluarkan dua tembakan ke udara, kerumunan manusia sudah layaknya gelombang, ada yang terinjak-injak namun tiada yang peduli. Kuapit erat dua teman Parjo yang telah basah kuyup keringat yang sama basahnya denganku. Teriknya matahari semakin membuat lautan manusia ini seperti neraka. Parjo yang masih terus melayang hanya bisa menangis sambil memegang kupingnya.

Untuk membeli kembali minuman dingin terasa sulit. Kerumunan orang-orang terasa sulit dibubarkan polisi, orang-orang hanya bisa bergerak layaknya gelombang yang terkunci. Dor! Dor! Tembakan ke udara masih terus berdesing, kulihat banyak yang jatuh pingsan karena sesak kehabisan udara.

“Bagaimana ini kak..” ucap seorang anak yang masih kuapit erat. Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. Rasanya ini seperti dalam mimpi buruk. Ah! Percuma saja menyesali, tinggal menunggu kerja polisi dan semoga saja orang-orang ini mau bubar sehingga ruang gerak kembali leluasa.

Parjo anak kampung jauh, merantau bersama kedua temannya. Tidur di stasiun kereta atau di emperan toko dan terminal. Ibunya TKW di Malaysia bapaknya hilang tak tentu rimbanya. Sedih dan bingung kulihat Parjo terus menangis tak bisa turun.

Terlihat orang-orang yang berdiri di atas bak sampah sudah mulai turun setelah ada teriakan “Bubar dan menyingkir,” dari megaphone helikopter yang terbang rendah berputar-putar. Rambut Parjo terlihat lebih berkibar dan orang-orang mulai dapat bergerak menjauhi lokasi.

Puluhan meter jarak pandangku diantara kemacetan jalan raya, mobil pemadam kebakaran mengeluarkan semburan airnya. Orang-orang terlihat mulai bisa berlarian. Bunyi klakson yang sedari tadi riuh bersahut-sahutan.

Lebih dari dua jam tak terasa kaki gemetaran melangkah. Rasa lelah yang teramat sangat memilihku untuk melangkah pulang. Setelah berpamitan pada kedua teman Parjo yang menerima dengan anggukan kepala, mereka duduk selonjor kelelahan beralaskan karung. Sepertinya kedua anak itu mau pingsan, namun apa daya tubuh terasa sangat letih dan mataku mulai berkunang-kunang.

Tak kupedulikan lagi orang-orang yang terkapar pingsan, banyak sudah tidak peduli di Ibukota ini. Biarlah tim medis yang akan datang menjemput mereka. Seorang ibu dengan tubuh gemuk dan masih terkapar di jalan seraya berteriak minta tolong tak juga kupedulikan, kubuang pandanganku kedepan menuju kontrakan. Rasa kantuk yang menyerang melengkapi rasa lelah tubuh ini. Kemeja dan celana panjang jinsku masih basah keringat.

Perjalanan menuju ke tempat saudara yang sudah setengah perjalanan ku urungkan. Tak kulirik lagi Parjo yang masih melayang-layang terbang di atas bak sampah itu, yang terpenting adalah secepatnya sampai di rumah, tidur melepas lelah tubuh ini. Ramai kendaraan masih masih macet memenuhi jalan raya, padahal tidak jauh dari jalan besar ini sudah masuk jalan tol.

Perlahan langkahku menuju halte, bus, metromini, angkot, ah aku sampai lupa naik apa untuk pulang. Sekonyong-konyong mata kantukku terbelalak, kulihat mobil-mobil pribadi, bus dan angkot mulai terangkat terbang.


By. M.Danial Bangu

2010

About Me

Foto saya
Betapa indahnya Alam dan segala isinya yang penuh daya guna... foto adalah perwakilan dari sejarah, dari masa ke masa...

Followers